Galih Gumelar - Politik hukum di Indonesia adalah kebijakan dasar penyelenggara negara
(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku,
yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang
dicita-citakan.
Tujuan politik hukum nasional meliputi dua aspek yang saling berkaitan:
(1)
Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki;
dan
(2) dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa
Indonesia yang lebih besar.
Sistem hukum nasional merupakan kesatuan hukum dan perundang-undangan
yang terdiri dari banyak komponen yang saling bergantung, yang dibangun untuk
mencapai tujuan negara dengan berpijak pada dasar dan cita hukum negara yang
terkandung di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Pembukaan dan Pasal-pasal UUD
1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.
Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua
alasan yaitu :
1. Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum
dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari
politik hukum di Indonesia.
2. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas yang
bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan
oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.
Dalam upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan
negara, politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai
berikut :
- Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
- Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni : melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
- Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat, membangun keadilan sosial.
- Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk : melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum), menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan keadaban dan kemanusiaan.
- Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai 27 nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sistem hukum yang demikian, mempertemukan unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan, yakni: keseimbangan antara individualisme dan kolektifisme, keseimbangan antara rechtsstaat dan the rule of law, keseimbangan anatara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cermin nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler (theo-demokratis) atau religius nation state
Politik hukum nasional sebagai pedoman dasar bagi segala bentuk dan proses
perumusan, pembentukan dan pengembangan hukum di tanah air. Bila politik
hukum nasional merupakan pedoman dasar bagi segala bentuk dan proses
perumusan, pembentukan dan pengembangan hukum di tanah air, dapat
dipastikan politik hukum nasional harus dirumuskan pada sebuah peraturan
perundang-undangan yang bersifat mendasar pula, bukan pada sebuah peraturan
perundang-undangan yang bersifat teknis.
Untuk menjelaskan pernyataan di atas kita harus merujuk kepada sumber hukum
dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang
berlaku secara hierarkis di Indonesia.
Penyusunan hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan itu untuk
menyingkronkan atau menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Dengan cara begitu, sebuah atau lebih peraturan perundang-undangan diharapkan
akan berjalan sesuai dengan tujuan dibuatnya perundang-undangan tersebut.
Dalam perkembangannya, produk hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah diganti dengan
produk hukum, yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan yaitu UUD 1945, TAP MPR, UU/Peraturan Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Undang-undang ini dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan.
- Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
- Kedua, untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara republik indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
- Ketiga, selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia.
Merujuk pada UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali,
lembaga-lembaga negara yang dapat merumuskan politik hukum nasional adalah
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
(2) Dewan Perwakilan Rakyat. MPR
dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk Undang-Undang Dasar.
Setelah
perubahan ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara
(supreme body), tetapi hanya merupakan sidang gabungan (joint session) yang
mempertemukan Dewan Permusyawaratan Rakyat dengan Dewan Perwakilan
Daerah .
Produk dari kedua lembaga yang bergabung dalam MPR, yang dituangkan ke
dalam penetapan atau perubahan UUD tersebut, merupakan politik hukum.
Artinya, segala bentuk perubahan dan penetapan yang dilakukan oleh MPR
terhadap UUD disebut sebagai politik hukum, karena merupakan salah satu
kebijaksanaan dasar dari penyelenggara negara dan dimaksudkan sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Dengan demikian, pasal-pasal yang terdapat dalam UUD yang merupakan produk
dari MPR adalah cetak biru untuk merealisasikan tujuan-tujuan negara. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk
undang-undang, karena kedudukannya sebagai kekuasaan legislatif.
Pasal 20 ayat (1) perubahan pertama UUD 1945 menjelaskan DPR memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang. Pasal ini sekaligus menunjukkan adanya
pergeseran kekuaaan (the shifting of power) dalam pembuatan undang-undang
(legislative power) yang semula menjadi kekuasaan presiden kini beralih ke DPR.
Rumusan ini diperkuat oleh Pasal 20A yang menjelaskan DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Meskipun demikian, menurut
ketentuan Pasal 5 ayat (1) presiden berhak mengajukan rancangan Undangundang
kepada DPR.
Dengan penjelasan di atas, selain MPR, DPR juga mempunyai peran yang sangat
signifikan dalam rangka membuat cetak biru hukum nasional untuk mencapai
tujuan-tujuan negara yang dicita-citakan. Peran yang dapat dilakukan DPR
tersebut dituangkan dalam sebuah undang-undang.
Perumusan politik hukum oleh DPR yang tertuang dalam undang-undang
dilakukan melalui beberapa tahapan proses sebagai berikut:
Tingkat I :
1. Sidang Pleno
2. Penjelasan Pendapat Fraksi
3. Rapat Fraksi dengan tahapan :
- Membahas rancangan undang-undang
- Membahas penjelasan pemerintah
- Menetapkan juru bicara fraksi
Tingkat II :
1. Pemandangan Umum
2. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
Tingkat III :
1. Sidang Komisi
2. Sidang Gabungan Komisi
3. Sidang Panitia Kerja (Panja) dan Panitia Khusus (Pansus)
Tingkat IV :
1. Pendapat akhir fraksi
2. Pendapat Pemerintah
UUD sebagai produk MPR dan undang-undang sebagai produk DPR tidak datang
dari hampa, tetapi merupakan aktualisasi dari kehendak-kehendak politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Kehendak-kehendak ini bisa datang dari
berbagai kalangan. Kehendak-kehendak tersebut bisa muncul baik pada tingkat
suprastruktur politik maupun infrastruktur politik . Infrastruktur politik indonesia
terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan , kelompok penekan , alat
komunikasi politik , dan tokoh politik .
Suprastruktur politik yang mempunyai
kewenangan untuk merumuskan politik hukum hanya MPR dan DPR saja.
Kehendak-kehendak baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial budaya dan lainlain,
yang muncul dari tingkat infrastruktur politik kemudian diperdebatkan dan
mengalami kristalisasi pada tingkat suprastruktur politik yang kemudian
outputnya adalah rumusan politik hukum baik yang terdapat dalam UUD apabila
merupakan produk MPR atau undang-undang apabila merupakan produk DPR.
Sumber :
- Mahfud MD,1998, Politik Hukum Di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hlm:7
- Sri Soemantri M dalam Artidjo Alkostar, 1997, Identitias Hukum Nasional, Fakulatas Hukum
- Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,hlm:239
- Imam Syaukani, 2010, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,hlm :121
- Ibid, hlm: 121
- Jimly Asshiddiqie,2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahaan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm:5
- Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 22
- Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar