• Breaking News

    Waspadai Bronkitis Kronis

    Hampir sepuluh tahun lamanya Rahmat bergelut dengan bronkitis kronis. Pada usia 51 tahun, pria yang bermukim di daerah Rawamangun, Jakarta Timur, ini pun telah menjadi pelanggan setia sebuah rumah sakit sebagai pasien rawat jalan.

    Penyakit yang dideritanya itu dipicu oleh kebiasaannya merokok yang sudah dilakoninya sejak masih duduk di bangku SMP. "Saya termasuk perokok berat. Dulu hampir tiap hari saya menghabiskan tidak kurang dari dua bungkus rokok," kata pria yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil ini.

    Kebiasaan buruknya ini akhirnya membuat kesehatannya terganggu. Selama lebih dari tiga bulan ia batuk berdahak terus-menerus, terutama pada pagi hari. Semula ia tidak mengindahkan penyakit itu dan hanya mengonsumsi obat batuk yang dijual bebas. Ia baru berobat ke dokter ketika batuk berdarah disertai dengan sesak napas.

    Hasil rontgen menunjukkan, ia mengalami flek pada paru-paru. Belakangan, ia didiagnosis menderita bronkitis kronis. Ia pun harus menjalani rawat jalan secara rutin di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun.

    "Kalau sesak napas sudah datang, saya tidak bisa tidur. Kerja pun jadi tidak bisa konsentrasi karena batuk terus-terusan," tuturnya.

    Agar penyakitnya tidak bertambah parah, sejak empat tahun lalu Rahmat memutuskan berhenti merokok. Hal ini berhasil mengurangi serangan bronkitis kronis pada dirinya. Namun, sebulan terakhir ini ia kembali mengalami eksaserbasi atau perburukan akut bronkitis kronis (EABK), yang ditandai batuk berdahak pada malam hari.

    Kendati kebiasaan merokok telah berhenti, ia kadang kala masih mengalami EABK jika terkena debu atau polusi udara, bau yang menyengat, seperti bau bumbu masak, terkena kipas angin, dan mesin pendingin ruangan. "Kalau pikiran lagi kacau dan banyak kerjaan di ruangan ber-AC, penyakitnya suka kambuh," ujar Rahmat.

    Untuk mengatasi kekambuhan bronkitis kronis yang dideritanya, Rahmat mengaku senantiasa membawa obat semprot. Jika terkena EABK, ia pun memeriksakan kesehatannya ke dokter di Rumah Sakit Persahabatan.

    "Kalau kambuh, saya hanya minum obat antibiotik dan obat batuk hitam," tuturnya menambahkan.

    Hal serupa juga dialami Tauan Tambunan (66), warga Karawaci, Tangerang. Kakek dua cucu ini mengaku pertama kali terserang bronkitis pada tahun 1972, juga lantaran terlalu banyak merokok hingga harus dirawat inap di rumah sakit. "Waktu itu saya merokok sampai habis tiga pak setiap hari," ujarnya.

    Ia pun kerap menderita sesak napas dan batuk berlendir. Atas anjuran dokter, ia pun mengonsumsi obat antibiotik selama sembilan bulan hingga penyakitnya sembuh.

    "Saya sudah beberapa kali dirawat inap gara-gara penyakitnya kambuh, terutama kalau sesak napas. Kalau sudah dirawat, sesak napas langsung hilang," kata Tambunan.

    Demi menjaga kesehatannya, Tambunan juga memutuskan berhenti merokok dan tidak lagi minum kopi sejak beberapa puluh tahun silam. Bapak dua anak ini pun secara rutin memeriksakan kesehatannya ke rumah sakit untuk menghindari terulangnya serangan penyakit itu dan komplikasi penyakit diabetes yang dideritanya. Berkat perubahan pola hidupnya, ia masih bisa beraktivitas di usia senja.

    Hentikan kebiasaan merokok
    Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah kelompok penyakit paru yang disebabkan terganggunya aliran udara. Istilah PPOK digunakan untuk menggambarkan penderita bronkitis kronis, emfisema, atau kombinasi penyakit itu. Batuk disertai dahak atau sputum, sulit bernapas atau napas pendek dan merasa lelah adalah gejala PPOK.

    "Bronkitis kronis timbul pada kira-kira 85 persen dari kasus PPOK secara global," kata Prof Antonio Anzueto dari Universitas Texas, Amerika Serikat, dalam jumpa pers di Beijing, China, pertengahan September lalu. Bronkitis sendiri merupakan peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru).

    Merokok sigaret adalah faktor risiko paling nyata bagi penyakit dan infeksi saluran napas. Sekitar 85 hingga 90 persen penderita PPOK mempunyai riwayat merokok. Penyebab PPOK lainnya termasuk faktor-faktor genetik, perokok pasif, dampak pekerjaan, polusi udara, dan kemungkinan jalan napas yang hipersensitif.

    Penyakit bronkitis sebenarnya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Namun, menurut Wikipedia (ensiklopedia), pada penderita yang memiliki penyakit menahun, seperti jantung dan paru-paru serta berusia lanjut, bronkitis bisa memperburuk keadaan dan mengakibatkan kematian.

    Bronkitis biasanya terjadi karena infeksi seperti radang tenggorokan, campak, dan batuk rejan. Penyakit ini disebabkan virus dan bakteri. Serangan bronkitis berulang bisa terjadi pada perokok dan penderita penyakit paru-paru serta saluran pernapasan menahun. Infeksi berulang bisa merupakan akibat dari sinusitis kronis, bronkektasis, alergi, dan pembesaran amandel pada anak-anak.

    Sejauh ini terdapat dua tipe bronkitis, yakni akut dan kronis. Bronkitis akut ditandai dengan batuk berdahak kekuningan dan demam. Bronkitis akut biasanya juga mengenai bagian paru lainnya.

    Sementara bronkitis kronis ditandai dengan batuk lama, berdahak banyak, dan terutama terjadi pada saat tidur atau pada pagi hari. Penyakit ini biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas.

    Bronkitis iritatif bisa disebabkan berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, sejumlah pelarut organik, klorin, hidrogen sulfida, sulfur dioksida, dan bromin. Penyakit ini juga akibat dari polusi udara serta tembakau maupun rokok.

    "Asap yang ditimbulkan kebakaran hutan sebagaimana terjadi di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini juga bisa memicu timbulnya bronkitis," kata Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Persahabatan.

    Gejala penyakit ini terutama berupa batuk berdahak berwarna kemerahan yang terus-menerus dalam jangka waktu lama. Penderita juga bisa sesak napas ketika berolahraga atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernapasan, bengek, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri serta kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir berwarna kemerahan, sakit kepala, dan gangguan penglihatan.

    Bronkitis karena infeksi kerap kali diawali dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan, dan nyeri tenggorokan. Batuk biasanya merupakan sinyal dimulainya bronkitis. Pada awalnya, batuk tidak berdahak, tetapi satu hingga dua hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.

    Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama tiga sampai lima hari, dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu, bahkan bulan. Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat. Sering ditemukan bunyi napas mengik, terutama setelah batuk dan bisa terjadi radang paru-paru.

    Untuk mengendalikan PPOK maupun EABK, sumber-sumber iritasi dan infeksi di hidung, tenggorokan, mulut, sinus, dan cabang tenggorokan sebaiknya dihilangkan. Artinya, orang harus menghindari polusi udara, termasuk asap karena kebakaran hutan, dan kondisi kerja yang berdebu.

    "Yang tidak kalah penting adalah berhenti merokok," kata Tjandra Yoga.

    Sayangnya, sejauh ini upaya menghentikan kebiasaan merokok di kalangan masyarakat masih sulit. Apalagi belum ada obat untuk berhenti merokok seperti diedarkan di sejumlah negara lain. "Selama ini menghentikan kebiasaan merokok hanya dengan pendekatan psikologis berkelompok. Ini kurang efektif diterapkan pada perokok," ujarnya.

    Tentunya, menghentikan kebiasaan merokok bukan sesuatu yang mustahil. Rahmat dan Tauan Tambunan merupakan bukti nyata keberhasilan mereka untuk tidak lagi merokok. "Yang terpenting adalah adanya kemauan untuk berhenti merokok agar bisa hidup sehat. Bebas dari penyakit bronkitis," tutur Tambunan. ***


    Penulis: Evy Rachmawati.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Feng Shui

    Otomotif

    Promo