• Breaking News

    Defenisi Kelembagaan

    Definisi Kelembagaan

    Membahas tentang definisi kelembagaan tergolong sangat membingungkan bahkan beberapa ilmuan sosial masih memperdebatkan istilah tersebut. Dalam banyak literatur teoritis, baik berbahasa Inggris maupun Indonesia, istilah “kelembagaan” (social institution) selalu disilangkan dengan “organisasi” (social organization). Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan diantara para ahli. Kebingungan dalam pengistilahan kelembagaan juga dijelaskan oleh Norman Uphoff. Menurut Uphoff (1984, h. 15) bahwa

     “What constitutes an ‘institution’ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term institution and organization are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguity and confusion”. (Apa yang merupakan sebuah ‘institusi’ adalah subyek menui perdebatan terus kalangan ilmuwan sosial…Istilah institusi dan organisasi umumnya digunakan secara bergantian dan ini memberikan makna yang ganda dan kebingungan)

    Penjelasan Uphoff diatas mengindikasikan belum terdapat pengakuan umum pada kalangan para sarjana sosial untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’ menjadi kelembagaan bahkan ada yang menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ dan ada pula yang mengunakan definisi ‘bangunan sosial’ (Soemadjan, Soemardi, 1964, h. 61). Meskipun belum ada definisi yang spesifik mengenai istilah dan terjemahan kelembagaan, namun dapat diyakini bahwa kelembagaan adalah social form ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Sehingga tujuan dari lahirnya kelembagaan memiliki kompleksitas kebutuhan dari kehidupan sosial di masyarakat.

    Menurut Koentjaraningrat, (1997, h. 15)  kata kelembagaan menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Lebih lajut Koentjaraningrat (1997, h. 16) menjelaskan bahwa suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang, sehingga kelembagaan merupakan sesuatu yang stabil, mantab, dan berpola, berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditentukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisiensikan kehidupan sosial.

    Sedangkan definisi kelembagaan menurut Hendropuspito (1989) merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peran-peran dan relasi sebagai cara mengikat guna tercapainnya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. (Wibowo, 2011, h. 57). Definisi kelembagaan tersebut hampir sama dengan yang dijelaskan oleh Macmilan sebagaimana yang diuraikan Saharuddin (2001), bahwa kelembagaan merupakan seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang (Wibowo, 2011, h. 55). Sementara itu, Taneko (1993) mendefinisikan kelembagaan sebagai adanya norma-norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam situasi tersebut. (Wibowo, 2011, h. 57). Dengan demikian lahirnya kelembagaan di masyarakat sebagai bentuk aturan (rule) yang ada dan mengikat guna untuk memperoleh serta memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosialnya.

    Berdasarkan definisi menurut empat pakar diatas, dapat disimpulkan bahwa kelembagaan hadir di masyarakat karena kondisi masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan dan perilaku dengan melihat aturan-aturan tersebut. Untuk mengatur perilaku manusia maka kelembagaan sebagai media atau wadah dalam membentuk pola-pola yang telah mempunyai kekuatan yang tetap dan aktivitas guna memenuhi kebutuhan harus dijalankan melalui pola yang ada di kelembagaan. Manusia akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menggunakan atau berkelit dari aturan-aturan yang telah di bentuk melalui kelembagaan. Melalui kelembagaan yang dibuat untuk mengatur terhadap pola perilaku dan pemenuhan kebutuhan manusia, maka keberadaan kelembagaan akan memberikan kontribusi (keuntungan) bagi kehidupan masyarakat. Perspektif kelembagaan sebagai aturan yang ada dan keuntungan yang diperoleh dari keberadaan kelembagaan tersebut, di pengaruhi oleh perspektif rational choice theory dari James S Colemans.

     Menurut Colemans (1990) bahwa rational choice theory ini menekankan pada tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). (Ritzer, 2008, h. 394). Lebih lanjut, Colemans menjelaskan bahwa terdapat dua unsur utama dalam teori ini yaitu aktor dan sumber daya. Aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui sumber daya yang dikontrol oleh aktor. Dalam ranah makro, perilaku aktor dapat berubah ke sistem sebagai bentuk perilaku kolektif  sebagai upaya untuk memaksimalkan kepentingan individu sehingga menyebabkan keseimbangan kontrol di masyarakat. “Perilaku rasional” ketika upaya untuk memaksimalkan kegunaan sumber daya yang efektif dengan biaya murah. (Ritzer, 2008, h. 396).

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Feng Shui

    Otomotif

    Promo