• Breaking News

    Sejarah Banten Lama

    Galih Gumelar - Banten yang terletak di wilayah paling barat Pulau Jawa merupakan sebuah propinsi yang ada di tatar Pasundan, pernah menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat namun mengalami pemekaran sejak tahun 2000 berdasarkan keputusan UU no. 23 tahun 2000. Pusat pemerintahan Banten berada di kota Serang. Berdasarkan Wikipedia, total luas propinsi Banten sebesar 9.662,92 kilometer persegi dengan jumlah total populasi pada tahun 2017 sebanyak 12.448.160 juta jiwa dengan kepadatan 1.288 jiwa per kilometer persegi. Saat ini di Banten didiami oleh beberapa etnis tertentu, yaitu etnis Banten, Sunda, Jawa, Betawi, Tionghoa, Batak, Minangkabau dan lain – lain.


    Terletak di pesisir Selat Sunda dan menjadi pintu gerbang lintas pulau Sumatra dan Jawa karena letaknya yang sangat strategis, wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut yang potensial karena Selat Sunda dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan letaknya secara geografis, maka Banten terutama wilayah Tangerang Raya merupakan wilayah pendukung bagi Propinsi DKI Jakarta. Banten berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudera Indonesia di Selatan, Selat Sunda di sebelah Barat dan DKI Jakarta serta Jawa Barat di Timur.

    Sejarah Berdirinya Banten

    Sejarah Berdirinya BantenBanten pada masa lalu dikenal dengan nama Bantam, merupakan suatu daerah yang memiliki pelabuhan yang sangat ramai dan kehidupan masyarakat yang terbuka serta makmur. Pada abad ke 5 Banten adalah bagian dari kerajaan Tarumanegara ditandai dengan penemuan prasasti peninggalan kerajaan tersebut pada 1947 berupa Prasasti Cidanghiyang atau juga dikenal dengan Prasasti Lebak, ditemukan di Kampung Lebak di tepi Ci Danghiyang, yang isinya mengagungkan keberanian Raja Purnawarman. Ketika kerajaan Tarumanegara runtuh yang disebabkan oleh serangan kerajaan Sriwijaya, kekuasaan di daerah ini dipegang oleh Kerajaan Sunda. Simak juga sejarah kerajaan Tarumanegara, peninggalan kerajaan islam di Indonesia, dan  sejarah kerajaan Mataram Kuno.

    Penduduk Banten menggunakan bahasa daerah Banten, bahasa yang merupakan salah satu dialek bahasa Sunda yang dekat dengan Sunda kuno namun digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar pada tingkatan bahasa Sunda modern. Kata Banten sudah ada jauh sebelum pendirian Kesultanan Banten sebagai bagian dari sejarah berdirinya Banten. Banten digunakan untuk menamai sebuah sungai, yaitu Cibanten yang artinya sungai Banten dan area sekelilingnya. Referensi tertulis mengenai Banten dapat ditemukan dalam naskah Sunda kuno Bujangga Manik, yang menyebutkan nama – nama tempat di Banten dan sekitarnya.


    Sungai ini melewati dataran lebih tinggi yang disebut Cibanten Girang atau yang disingkat sebagai Banten Girang saja. Pada tahun 1988 sebuah riset dilakukan di Banten Girang dan menemukaan bahwa pemukiman di tempat ini telah ada sejak abad ke 11 hingga 12 atau sewaktu kerajaan Sunda berkuasa. Diketahui juga bahwa area ini berkembang pesat pada abad ke 16 yaitu ketika Islam pertama kali masuk di wilayah ini. Perluasan wilayah kemudian berkembang ke Serang dan daerah pantai, dimana di daerah pantai ini Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Banten. Ketahuilah juga silsilah kerajan Kediri, sejarah kerajaan Kediri, dan peninggalan kerajaan Kediri.

    Kisah Kesultanan Banten

    Banten sebagai suatu wilayah telah dikenali sejak awal abad ke 14, sejarah berdirinya Banten sebagai Kesultanan dan salah satu kerajaan di Indonesia berawal dari pelabuhan yang sangat banyak disinggahi oleh kapal – kapal dagang dari berbagai wilayah hingga ke pendaratan orang Eropa yang kemudian menjadi penjajah di Indonesia. Sebuah negara yang disebut Panten sudah dikenal pada tahun 1330 yang dikuasai oleh Majapahit yang kala itu dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Saat itu ada dua kerajaan terbesar di Nusantara yaitu Demak dan Majapahit.

    Pada tahun 1524 – 1525 berdatangan para pedagang Islam ke Banten yang menandakan dimulainya sejarah berdirinya Banten dalam aspek penyebaran agama Islam di Banten. Tahun 1524 Sunan Gunung Jati dan pasukan gabungan dari Kesultanan Cirebon dan Demak mendarat di Pelabuhan Banten, dengan fokus untuk merebut Banten Girang. Pada 1527 Maulana Hasanuddin dan ayahnya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merebut Banten Girang dari Prabu Pucuk Umun yang saat itu memeluk agama Hindu dan mendirikan Kesultanan Banten. Sebelumnya, Sultan Demak mengangkat Maulana Hasanuddin sebagai Bupati Banten.


    Sejarah berdirinya Banten  sebagai Kesultanan dimulai pada pengangkatan Sultan Banten pertama yaitu Sultan Hasanuddin kemudian mulai memerintah sejak 1552-1570. Hal ini sekaligus menandakan bahwa Banten telah menjadi kerajaan Islam sejak pengambil alihan kekuasaan oleh Demak melalui Hasanuddin. Kesultanan Banten pada masa Hasanuddin menguasai kedua sisi Selat Sunda. Penerus Maulana Hasanuddin adalah Maulana Yusuf yang memperluas wilayah kekuasaan Banten ke daerah pedalaman. Kesultanan Banten menaklukkan kekuasaan kerajaan Pajajaran pada 1579, merebut ibu kota kerajaan Sunda yaitu Pakuan Pajajaran , merampas Palangka Sriman Sriwacana yaitu tempat duduk penobatan Raja Sunda agar tidak ada lagi raja yang bisa dinobatkan di kerajaan Pajajaran.

    Banten mencapai kejayaan puncak pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1683) dengan kepemilikan armada yang mengesankan, bahkan konon mengupah orang Eropa untuk bekerja pada Kesultanan Banten. Untuk mengamankan jalur pelayaran, Banten juga menaklukkan Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat pada 1661. Sayangnya pada 1680 perpecahan muncul di Kesultanan Banten dalam bentuk perselisihan antara Sultan Ageng dan putranya yaitu Sultan Haji, yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mendukung Sultan Haji sehingga terjadi perang saudara. Perang ini menyebabkan Sultan Ageng terdesak dan mundur ke selatan pedalaman Sunda bersama dua putranya yang lain, namun beliau tertangkap pada 14 Maret 1683 dan diasingkan serta ditahan di Batavia. Kedua putranya yang lain yaitu Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf ditangkap oleh VOC pada 1683 dan 1684.

    Akhir Dari Kesultanan Banten

    Sultan Haji harus membayar bantuan dari VOC dengan menyerahkan wilayah Lampung pada 12 Maret 1682, yang tertera dalam surat dari Sultan Haji kepada Mayor Isaac de Saint Martin, seorang admiral kapal VOC yang sedang bersandar di pelabuhan Banten. Perjanjian dengan VOC pada 22 Agustus 1682 memperkuat hak monopoli VOC akan perdagangan lada di Lampung. Tidak hanya itu, berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, kerugian VOC akibat perang harus diganti oleh Sultan Haji.

    VOC semakin merajalela dalam sejarah berdirinya Banten. Sepeninggal Sultan Haji pada 1867, pengaruh VOC di Kesultanan Banten semakin besar dengan diangkatnya dua orang Sultan lagi melalui persetujuan VOC. Perang saudara yang dilakukan oleh Sultan Haji menimbulkan dampak besar bagi Banten sebagai Kesultanan, ditambah dengan campur tangan VOC dalam semua urusan yang menyangkut Banten. Kondisi tersebut memancing adanya perlawanan dari rakyat, yang justru memaksa Sultan Banten untuk kembali meminta bantuan dari VOC.

    Kejatuhan Kesultanan Banten dalam sejarah berdirinya terjadi ketika pada tahun 1808 Daendels dalam proyek Jalan Raya Pos memerintahkan Banten agar menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan Ujung Kulon dan memindahkan ibu kota Kesultanan ke Anyer. Namun Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin menolak, menyebabkan ia ditangkap dan dibuang ke Batavia bersama seluruh keluarganya. Daendels kemudian mengumumkan pada 22 November 1808 bahwa Kesultanan Banten telah dihapuskan dan wilayahnya digabungkan ke dalam pemerintahan Hindia Belanda.

    Sumber : berbagai sumber

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Feng Shui

    Otomotif

    Promo